Terapi ini kerap digunakan mengobati penyakit dekompresi, infeksi kronis, diabetes, luka bakar, penyakit pendengaran hingga kanker. Tak hanya itu, terapi oksigen hiperbarik saat ini dinilai memiliki manfaat bagi penyembuhan pasien Covid-19.
"Prinsip terapi pengobatan adalah membantu kinerja organ tubuh guna memperbaiki jaringan yang rusak dengan meningkatkan kapasitas aliran oksigen murni ke jaringan tubuh," ujar Dr. dr Mendy Habitie Oley SpBP-RE dari Siloam Hospitals Manado, dikutip Rabu 24 Februari 2021.
Namun, perlu diperhatikan kondisi pasien sebelum menjalani terapi ini. Terutama pengidap asma, demam, paru kronis, kelainan sel darah merah, gangguan pada Tuba Eustachius, Pneumothorax yang belum terobati, hingga fobia akan ruangan tertutup.
Cara kerja terapi ini yakni pemberian instalasi oksigen dengan konsentrasi 100 persen pada tekanan lebih dari 1 atmosfer absolut (1.5-3.0 ATA). Terapi yang dilakukan pada pasien Covid-19 mampu menghasilkan beberapa hal.
Seperti peningkatan oksigenasi jaringan, anti inflamasi, modulasi sel induk, efek anti platelet/anti trombotik, dan penurunan jumlah virus akibat ROS. Selama terapi tersebut, yang dipantau adalah EKG, Okumetriz, temperatur, tekanan darah, POZ, tekanan Cuff ETT dan tentunya AED dan paddle atau efek terbakar.
Sementara, adanya efek samping harus diperhatikan dalam tata kelolanya. Yaitu Pulmonar (iritasi takeobronkial), Neurologis (gangguan visual, telinga berdenging, pusing, disorientasi, kejang, hingga menjaga agar pasien tidak mengalami penurunan kesadaran.
Terapi Oksigen Hiperbarik sebaiknya diberikan dengan pemberian jeda respirasi udara normal, durasi terapi kurang dari dua jam setiap kalinya, serta pemberian tekanan di bawah ambang batas Toksisitas Neural.
(UWA)