Menurut Kepala Bagian di Biro Hukum dan Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang Harison Mocomdompis, keadilan tersebut ialah dengan memberi kebebasan terbatas pada lahan-lahan hak guna usaha (HGU) yang selama ini dibiarkan telantar.
"Selama ini banyak lahan milik perusahaan yang tidak dimanfaatkan selama bertahun-tahun hingga akhirnya tersia-siakan begitu saja. Ini ingin dihindari di masa mendatang," terang Harison, kemarin.
Melalui undang-undang pertanahan yang saat ini masih berupa rancangan dan dalam pembahasan di parlemen, lahan yang dicadangkan dan tidak diusahakan dalam jangka waktu tertentu itu nantinya akan diambil alih negara dan dimaksimalkan untuk kepentingan masyarakat.
Sependapat dengannya, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Sudarsono Soedomo, mengatakan saat ini terdapat jutaan penduduk di Tanah Air yang selama puluhan tahun hidup dalam ketidakjelasan status tanah.
Undang-Undang No 5/1960 tentang Pokok Agraria pun tidak banyak membantu karena sejak lahir sudah dikerdilkan.
"Menunda pengesahan RUU Pertanahan itu bukan opsi. Sempurnakan segera bila masih ada poin yang dianggap kurang. Percepat pengesahannya," ujar Sudarsono.
Berbeda dengan mereka, pakar kehutanan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof San Afri Awang, mengingatkan pemerintah dan DPR untuk tidak memaksakan pengesahan RUU Pertanahan itu dalam waktu dekat. Pasalnya, banyak pihak berkompeten yang belum didengar pandangan mereka.
"Saya menduga ada upaya menyegerakan pengesahan ini. Padahal banyak pihak terkait yang belum didengar karena ada aroma untuk melegalkan kawasan yang selama ini dinilai ilegal atau belum memiliki izin yang sah," ujarnya
(KIE)