Lembah kematian ini telah membuat banyak produk yang dihasilkan para inventor gagal menjadi produk inovasi dan tidak bisa masuk tahap komersialisasi. Hal ini, terjadi karena tidak adanya fasilitasi berupa pembiayaan maupun kebijakan dari pihak manapun.
Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia (AII), Didiek Hadjar Goenadi mengungkapkan, banyak hasil temuan di Tanah Air yang telah dipatenkan, namun hanya sedikit yang dapat dihilirisasi menjadi produk inovasi.
"Suatu kondisi yang sangat dibutuhkan khususnya oleh inventor agar bisa menyebrangi lembah kematian. Kalau para inventor ini tidak bisa menyebrangi lembah kematian, maka invensi yang dihasilkan hanya akan masuk laci, masuk publikasi. Padahal maksudnya agar dapat dikomersialisasikan, menghasilkan impact ekonomi," kata Goenadi di kebun Kelapa Kopyor milik Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri, Ciomas, Bogor, Sabtu, 30 Oktober 2021.
Kondisi inilah yang melatarbelakangi berdirinya AII di 2008 lalu. Asosiasi yang beranggotakan para inventor dalam negeri ini menempatkan diri untuk membantu mereka menghilirisasi temuannya.
"Kami siap mempertemukan inventor dengan kalangan industri, memberi pembinaan, bimbingan para calon inventor hingga melakukan promosi strategis kegiatan inventor," terang Goenadi.
Baca juga: Selamat! Periset BRIN Masuk dalam Top 2% World Ranking Scientists 2021
Menurut Goenadi, kendala yang dihadapi inventor dalam proses hilirisasi produk selama ini adalah keterbatasan dana. Akibatnya, hasil temuan para inventor banyak yang terhenti di tahapan kesiapanterapan teknologi atau Technology Readiness Level (TRL) 7.
Padahal, industri biasanya hanya mau bekerja sama dengan para inventor yang temuannya sudah berada di tahapan TRL 8-9. "Untuk mencapai 8-9 ini dibutuhkan biaya, waktu, dan tenaga yang besar," terangnya.
Goenadi berharap, dengah hadirnya AII dapat membantu inventor untuk selamat dari apa yang disebut dengan "syndrome of the death valley". "AII siap membantu mempertemukan para inventor dengan investor, agar temuannya dapat dihilirisasi menjadi produk," tegasnya.
Sejumlah inovasi telah berhasil dihilirisasi oleh AII, seperti "Development of Biofertilizer Industry", Solusi problem Beton "Construction Chemicals Specialist Contractor", "Asbuton Hardener" penunjang Infrastruktur, hingga pengembangan bibit kelapa koptor dengan menggunakan teknologi kultur embrio.

Salah satu hasil pengembangan teknologi kultur embrio pada kelapa kopyor yang berhasil dihilirisasi.
"Tahun ini, AII juga bekerja sama dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk hilirisasi produk 'hasil grand riset sawit (GRS)'. Terutama pada 'invensi' yang berhubungan dengan kelapa sawit," sebutnya.
Keanggotaan AII
Goenadi berharap akan lebih banyak lagi inovasi anggota AII yang telah dipatenkan dapat dihilirisasi di masa mendatang. Ia mengatakan potensi tersebut sangat besar, mengingat seluruh inventor yang telah terdaftar dalam HKI akan secara otomatis menjadi anggota AII.Namun, keanggotaan itu hanya berlaku bagi inventor warga negara Indonesia (WNI). "Karena cukup banyak juga warga negara asing yang mendaftarkan temuannya di lembaga 'KI' di Indonesia. Para peneliti Indonesia diharapkan tidak bisa hanya sekadar sebagai peneliti, tetapi perlu punya temuan yang berpeluang komersil. Para inventor ini tak perlu mendaftar, keanggotaannya berlaku otomatis asalkan WNI," ujar Goenadi.