"Ini butuh pemikiran yang lebih mendalam yang menjadi salah satu fokus kita. Makanya kita kerja sama stafsus Presiden, fokus ke area-area penting jangan terlalu menyebar," kata Nadiem di Bandung, Senin, 17 Januari 2022.
Nadiem menyebut masalah layanan pendidikan disabilitas di Tanah Air bukan hal baru. Mulai dari suplai guru SLB, infrastruktur bagi sekolah inklusi, hingga pada jumlah anak berkebutuhan khusus masih harus ditingkatkan.
Baca: Kasus Omicron Naik, Nadiem: SKB 4 Menteri Sudah Perhitungkan Skenario Terburuk
Nadiem menambahkan masalah juga terjadi pada suplai jumlah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang melatih SLB. Belum lagi soal insentif dan distribusi guru SLB.
"Dan semua ini datang dari mungkin kita tidak menghitung secara tepat jumlah anak yang punya kebutuhan khusus atau disabilitas berapa sih? Ini kayak fenomena gunung es," paparnya.
Dirjen PAUD Dikdasmen Jumeri menyampaikan bahwa angka partisipasi kotor (APK) disabilitas baru 20 persen. Artinya, dari 100 anak berkebutuhan khusus, hanya 20 orang yang bisa mendapat layanan pendidikan tersebut.
"Ini tantangan untuk kita siapkan sekolah-sekolah kita untuk punya akses bagi disabilitas," jelas Jumeri.
Ia mengatakan selain guru dengan latar belakang khusus, sekolah juga harus ramah disabilitas untuk meningkatkan layanan pendidikan. Bagi sekolah inklusi, fasilitas bagi anak berkebutuhan khusus sangat penting dan harus ada edikasi bagi warga sekolah agar anak-anak disabilitas bisa diterima.
"Nah saya usulkan kalau membangun sarana sekolah, buatlah jalur untuk disabilitas. Itu modal pertama kita untuk bisa menerima inklusi," tuturnya.
Jumeri juga meminta sekolah untuk mengajukan formasi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) bagi guru disabilitas. Sehingga, sekolah inklusi dan SLB bisa meningkatkan layanan yang setara bagi anak disabilitas sebagaimana menjadi hak mereka.
Baca: Mencegah Tawuran Pelajar Tak Bisa Dibebankan kepada Sekolah
Sementara itu, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Iwan Syahril membeberkan bahwa dalam lawatannya ke beberapa daerah, dia menemukan bahwa SLB justru diisi oleh guru yang tidak mempunyai basic pada layanan khusus. Pasalnya, suplai guru bagi SLB atau sekolah inklusi masih jauh dari cukup.
"Saya sudah ke LPTK ini program luar biasa kita dorong, kalau belum daerah itu harus buat minimal harus 1 (perguruan tinggi) yang bagus di daerah," ucapnya.
Lagi-lagi, sektor suplai menjadi sorotan dalam upaya meningkatkan layanan bagi disabilitas. Dalam rekrutmen PPPK, pemerintah sejatinya menyediakan kuota 2 persen bagi para disabilitas. Namun yang melamar bahkan tidak sampai pada jumlah kuota tersebut.
"Padahal kita sudah dorong kasi afirmasi. Karena sampai bisa ke sana tidak banyak lulus S1," ucap Iwan.
(AGA)