Menurut dia, heuristika hukum bisa menjadi seni untuk menemukan pendekatan baru. Seni untuk menemukan jalan keluar baru dalam proses peradilan.
Menurutnya, sebuah kasus merupakan problematika yang perlu ditemukan jalan keluarnya, terutama oleh seorang hakim. Hakim dituntut menemukan seni pendekatan dalam melihat sebuah perkara.
"Jadi, kita tidak bisa menggeneralisasi, tidak semua kasus sama. Sebab, tersangkanya, korbannya, itu beda-beda," kata Topo, Minggu, 21 Februari 2021.
Dalam menangani perkara, hakim dihadapkan pada dua tahap pekerjaan. Pertama, ketika hakim mau memutuskan perkara itu benar atau salah, terbukti atau tidak, pasti berdasarkan analisis terhadap barang bukti, keterangan terdakwa, keterangan ahli, sampai pada keyakinan sang hakim.
Kedua, kalau dari analisis tersebut ternyata terbukti dan terdakwa dinyatakan bersalah, sang hakim masih ada tugas berikutnya, yaitu menentukan masa hukuman.
Dalam KUHP yang disebutkan hanya maksimum hukuman. Kisaran hukuman bisa dimulai dari satu hari sampai tujuh tahun, sepuluh tahun, dan seterusnya. Akhirnya, seringkali putusan hakim menjadi pertanyaan publik.
Karena itu, penting bagi seorang hakim mempertimbangkan banyak variabel dalam mengambil keputusan. "Artinya, posisi seorang hakim dalam memutuskan sebuah perkara hukum bukan hanya mengandalkan analisis, tetapi juga melibatkan nurani, melibatkan kontemplasi. Dia harus merenungkan apakah putusannya itu adil atau tidak, proporsional atau tidak."
"Ini membutuhkan seni untuk memutuskan. Oleh karena itu, pidato Prof Syarifuddin tentang heuristika hukum, menurut saya sangat bagus untuk saat ini. Dan bisa menjadi pedoman dan acuan bagi para hakim," kata Topo.
Baca: HM Syarifuddin Tawarkan Teori Heuristika Terobos Kekakuan Hukum Normatif
Melansir Antara, heuristika hukum merupakan buah dari pemikiran Ketua Mahkamah Agung M Syarifuddin. Ia menuangkan konsep heuristika hukum dalam pidatonya saat pengukuhan sebagai guru besar tidak tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Selama kurang lebih 35 tahun menjalankan tugas sebagai hakim, ia menyadari ada problematika klasik dalam penegakan hukum korupsi yang belum mendapatkan jawaban secara tuntas. Tidak saja dalam dunia akademis, melainkan juga dalam dunia praktik.
Permasalahan tersebut muncul sebagai akibat dari ketentuan hukum normatif dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang memberikan ruang yang sangat lebar bagi penegak hukum. Para hakim terkadang kesulitan menentukan besaran dan lamanya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Hal ini terkadang membuat penegakan hukum korupsi di Indonesia sangat kaku dan kurang memberikan rasa keadilan akibat penjatuhan sanksi pidana oleh hakim di pengadilan.
(UWA)