Suharti mencontohkan yang terjadi di tiga SMA Negeri Jakarta, yakni, SMAN 28, SMAN 36, dan SMAN 114. Lewat kebijakan PPDB saat ini, kata dia, tiga sekolah itu akhirnya menerima siswa dengan rata-rata nilai rapor yang relatif sama, dalam rentang 70-90.
"Tidak ada sekolah yang tampak cenderung menerima siswa dengan nilai lebih tinggi atau pun rendah," kata Suharti dalam forum diskusi ikatan alumni Universitas Indonesia, Rabu, 8 Juli 2020.
Pada PPDB 2019, kata dia, tiga sekolah itu dikenal merekrut siswa dengan kemampuan akademik yang berbeda. SMAN 114 Jakarta misalnya, sebagian besar siswa yang diterima memiliki rata-rata nilai 60-70. Di SMAN 36, rata-rata siswa yang diterima memiliki nilai 75-85. Sedangkan di SMAN 28, sebagian besar siswa yang diterima memiliki rata-rata nilai 95 ke atas.
"Pada PPDB 2019, ada yang nilainya ekstrem di atas dan ekstrem di bawah. Dan untuk PPDB 2020 lebih merata antar sekolah dan variasi di dalam sekolah menjadi lebih lebar. Mereka sudah mulai blended dari yang paling pandai dan tidak pandai itu ada di dalam sekolah yang sama,” tuturnya.
Baca: Siswa Miskin di Jakarta Sulit Manfaatkan Jalur Afirmasi
Suharti menambahkan, pola penerimaan siswa tahun ini juga mampu meningkatkan keragaman pada latar belakang sosial ekonomi keluarga. Siswa dengan nilai akademik rendah yang sebagian besar berasal dari keluarga kurang mampu memiliki kesempatan yang sama untuk diterima di sekolah negeri.
“Harapannya ini semua yang dilakukan cukup untuk membuat masyarakat di manapun berada dengan kondisi orang tua dan sosial ekonominya dari kelompok manapun punya akses yang lebih baik ke sekolah negeri,” tambah Suharti.
Namun, menurut Peneliti Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI), Windy Liem, tingginya tingkat heterogen, harus diiringi dengan penetapan capaian belajar yang tepat. Guru dituntut kreatif dalam mendidik siswa yang memilki rentang umur yang jauh dalam satu kelas.
"Guru harus bisa lebih kreatif lagi dalam mendidik. Dengan tingginya heterogen ini gimana guru bisa menciptakan suasana toleransi, siswa bisa menerima keanekargaman status ekonomi dan sosial," kata Windy.
(AGA)