"Saat itu masalah yang dibicarakan sebenarnya hampir sama dengan yang diperdebatkan saat ini," beber Hendrawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 17 November 2020.
Mantan anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Larangan Minuman Beralkohol itu mengungkapkan permasalahan utama ialah judul RUU. Kata 'larangan' tidak diakomodasi karena mengacu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Hendrawan menyebut saat itu tujuh fraksi tidak menyepakati pengesahan RUU Larangan Minuman Beralkohol. Sementara itu, tiga fraksi setuju dengan judul RUU Larangan Minuman Beralkohol.
"Akhirnya tidak ketemu, karena saat itu kita menghindari (kata larangan)," ungkap dia.
(Baca: Pengusul Terima Perubahan Judul RUU Larangan Minuman Beralkohol)
RUU Larangan Minuman Beralkohol juga dinilai harus memiliki konektivitas dengan undang-undang lain. Anggota Komisi XI DPR itu menyebut pengaturan peredaran minuman beralkohol sudah termaktub di Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
Selain itu, juga diatur melalui aturan teknis lainnya, seperti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. "Suatu barang dikenai cukai tujuannya untuk pengendalian. Pemerintah saat itu menekankan pengendalian," tutur dia.
Politikus PDI Perjuangan itu menyebut penyusunan sanksi juga mesti dibuat objektif. Dia meminta pembahasan ditinjau ulang. Sebab, tidak ada perbedaan mencolok antara rancangan beleid yang diajukan saat ini dengan sebelumnya.
"Jika kita mendaur ulang suatu RUU, sebenarnya hindari duplikasi atau pengulangan wacana pro dan kontra dan seterusnya," ujar dia.
(REN)