"Tidak boleh ada larangan menyebarkan kebencian kepada presiden dan wakil presiden," kata Henry dalam diskusi virtual Populi Center, Kamis, 18 Februari 2021.
Dia menyebutkan, ketentuan pemidanaan penghinaan dan menyebarkan kebencian telah dihapus Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2007. Ketentuan yang dihilangkan yaitu pasal 154 dan 155 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Jadi sekarang kalau anda menyebarkan kebencian kepada presiden dan wakil presiden, anda tidak akan kena pasal. Tidak ada," ungkap dia.
Dia menyebut yang dipertahankan hanya Pasal 156 KUHP. Pasal ini kemudian menjadi rujukan pasal 28 ayat (3) UU ITE, yakni melarang ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Baca: Tidak Semua Kabar Bohong Harus Berujung Pidana
Ketentuan pasal ini pernah digugat pada 2017 oleh Habiburrahman. Saat itu, Habiburrahman yang berstatus anggota Komisi III DPR mempermasalahkan ketentuan antargolongan.
Namun, uji materi ditolak oleh MK. Hakim konstitusi beralasan permusuhan berpotensi terjadi jika frasa tersebut dihilangkan. Apalagi masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai kelompok atau golongan, termasuk pandangan politik.
"Apakah lalu kita biarkan golongan rakyat ini mensyiarkan permusuhan karena bukan suku, agama, dan ras. Itu yang diperdebatkan MK waktu itu (2018)," kata Henry.
Dia menegaskan keberadaan pasal 28 ayat (2) UU ITE ini bukan untuk melindungi pemerintah. Namun, pasal yang bertujuan menekan penyebaran ujaran kebencian di tengah masyarakat.
Adapun bunyi pasal 154 dan 155 KUHP tersebut ialah:
Pasal 154 KUHP
Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 155 KUHP
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan dimuka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencaharian dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencaharian tersebut.
(SUR)