Buzzer politik memiliki agenda tertentu, seperti kampanye politik, menyesatkan, hingga menyampaikan konten negatif lainnya. Buzzer seperti ini yang dinilai berbahaya untuk publik.
Literasi digital publik akan memengaruhi bagaimana melawan narasi negatif buzzer di media sosial. Namun, hal ini perlu diseimbangkan dengan kualitas literasi masyarakatnya.
“Narasi harus dilawan (counter) dengan narasi juga, namun ini akan baik diterapkan pada masyarakat yang literasinya bagus. Jika seperti di Indonesia di mana literasi masih seperti ini (rendah) sementara mereka belum bisa memfilter konten maka ini menjadi ancaman serius,” kata Suwarjono dalam siaran langsung 'Journalis on Duty' di Instagram Media Indonesia, Jumat, 12 Februari 2021.
Menurut dia, hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu ialah mengatur konten yang layak dengan tidak layak. Dengan begitu, publik atau pengguna media sosial bisa menyadari jika ada konten yang dinilai tidak layak atau negatif lalu melaporkannya ke pemilik platform media sosial.
Mekanisme seperti ini perlu digencarkan. Pasalnya, konten yang ada di media sosial tentunya ada yang bernilai positif sehingga pelaporan bisa dilakukan masyarakat, sedangkan pemilik platform media sosial mempertimbangkan menghilangkan konten tertentu yang dilaporkan.
“Pengaturan dengan memberikan tools kepada publik untuk report ke pemilik platform lalu pemilik menilai konten ini layak dihilangkan atau tidak. Karena kan banyak juga konten yang bagus dan informatif. Saya kira atur kontennya bukan platformnya,” papar dia.
Suwarjono menilai jika melawan buzzer negatif dengan adu kuat narasi, yang dikhawatirkan pemenangnya ialah pihak yang kuat, bukan justru pihak dengan narasi yang benar. Pada akhirnya, kelompok yang lemah dan tidak mempunyai suara tidak bisa dilindungi.
Konsultan Komunikasi Publik Wicaksono memaparkan buzzer secara definisi berarti pendengung. Definisi ini tidak berkonotasi negatif. Namun, kini buzzer selalu memiliki konotasi negatif karena dipengaruhi perpolitikan di Indonesia yang telah mengubah makna buzzer menjadi negatif.
Senada dengan Suwarjono, ia menilai literasi masyarakat harus menjadi kunci dalam melawan buzzer dengan informasi yang menyesatkan. Publik harus paham aturan, tata cara, etika dalam memakai media sosial.
"Karena ada petunjuk, minimal umur atau usia, sebaiknya membuat konten seperti apa dan lain sebagainya,” ungkap Wicaksono.
(OGI)