"Perhitungan besaran ambang batas parlemen itu harus dilakukan dengan rumusan yang terbuka," kata peneliti Perludem Fadli Ramadhanil dalam diskusi virtual di Jakarta, Minggu, 28 Juni 2020.
Fadli menjelaskan, ambang batas parlemen sudah diterapkan sejak Pemilihan legislatif (Pileg) 2009. Awalnya, syarat parpol bisa masuk parlemen minimal mengantongi 2,5 persen dari perolehan suara nasional.
Angka itu naik menjadi 3,5 persen pada Pileg 2014. Ambang batas parlemen kembali dinaikan menjadi empat persen pada Pileg 2019.
"Tapi itu (penaikan ambang batas parlemen) tidak pernah dihasilkan dari sisi perhitungan yang terbuka. Atau kita mengatakan ini sebetulnya dihitung berdasarkan rumusan yang mana?" ungkap dia.
Baca: Ambang Batas Parlemen Terbuka Didiskusikan
Menurut dia, penghitungan ambang batas harus jelas dan diketahui seluruh pemangku kepentingan. Sebab, ambang batas parlemen berpengaruh terhadap sistem proporsional yang dianut dalam kepemiluan di Indonesia.
Berdasarkan kajian Perludem, tiga pemilu yang menerapkan ambang batas parlemen menyebabkan disproporsionalitas pada hasilnya. Sehingga, jumlah suara yang hangus cukup besar karena banyak partai yang tidak memenuhi syarat ambang batas parlemen. Dia menilai implementasi sistem proporsionalitas bisa diterapkan dengan baik jika penentuan ambang batas parlemen diperjelas.
(AZF)