"Pasal karet tersebut sudah ada saat UU tersebut dibuat pada era SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai presiden," kata anggota Komisi I Syaifullah Tamliha kepada Medcom.id, Selasa, 16 Februari 2021.
Tamliha mengungkapkan upaya perubahan dilakukan pemerintah dan Komisi I periode 2014-2019. Namun, perubahan bersifat sangat terbatas.
Dia menyebut ada dua pasal yang direvisi. Salah satunya, maksimal hukuman penjara tidak boleh lebih dari lima tahun.
"Sehingga seseorang yang diduga melanggar UU ITE tidak mesti harus ditahan saat menjalani penyelidikan dan atau penyidikan," tutur dia.
(Baca: Mahfud Sebut Revisi UU ITE untuk Demokrasi)
Komisi I sempat mengusulkan perbaikan tidak hanya pada ketentuan maksimal hukuman. Namun, upaya tersebut ditolak pemerintah yang saat itu diwakili Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara.
"Saat itu Rudiantara tidak mau memperlebar revisi. Maka memang berakibat masih terdapat beberapa pasal karet yang perlu direvisi lagi," ujar dia.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menyambut baik keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghapus pasal karet. Keinginan tersebut dinilai untuk menjawab kegelisahan masyarakat yang khawatir pendapat atau kritik berujung pada proses hukum.
"(Revisi UU ITE) untuk menjawab pertanyaan Pak JK (Jusuf Kalla) tentang bagaimana menyampaikan kritik agar tidak dipanggil polisi," ujar dia.
Presiden Jokowi menyoroti banyaknya pasal karet di UU ITE yang dapat merugikan masyarakat. Jokowi ingin undang-undang itu direvisi.
"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi Undang-Undang ITE ini karena disinilah hulunya," kata Jokowi dikutip dari siaran di YouTube Sekretariat Presiden, Jakarta, Selasa, 16 Februari 2021.
(REN)