Arsul menyebut MPR hanya membahas usulan amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Amendemen itu terkait Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
"MPR melakukan pendalaman terkait keperluan memasukkan kembali GBHN ke UUD. Kedua, melakukan kajian dan pendalaman terkait penataan sistem preseidensial," kata Arsul dalam diskusi Crosscheck bersama Medcom.id di Warunk Upnormal Coffee, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu, 24 November 2019.
Dalam penataan sistem presidensial, MPR tak pernah menyinggung masalah jabatan presiden. Wacana ini pertama kali muncul dari Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Hendropriyono.
"Usulan itu dari luar bukan dari MPR. Ini menggelinding dan dikaitkan dengan rekomendasi sistem presidensial. Padahal hasil rapat MPR itu untuk memperkuat presidensial, bukan masa jabatan presiden," tegas dia.
Arsul tak masalah wacana jabatan presiden jadi ramai diperbincangkan publik. Masyarakat, kata dia, bebas mendiskusikan hal itu.
"Ini akan menjadi diskursus. Tapi sejauh ini posisi di MPR masih seperti ini," pungkas dia.
Istana Kepresidenan belum bersikap terkait wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Wacana tersebut dinilai perlu melalui kajian akademis dan diskusi panjang.
"Itu baru suara-suara dari masyarakat. Kita belum punya sikap. Namanya baru wacana," kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 22 November 2019.
Menurut dia, sebagai negara demokratis, semua pandangan dan pendapat harus terwadahi dengan baik. Dari pandangan dan kajian akademis baru terlihat urgensi dari wacana ini.
"Nanti akan mengerucut apakah pandangan itu pas atau tidak dan seterusnya," jelas mantan Panglima TNI itu.
(DRI)