"Sebelum adanya surat telegram ini, praktik ini biasanya dilakukan secara tidak langsung (melalui surat) oleh pimpinan, seperti yang terjadi pada kasus Jusni (penyiksaan yang berujung kematian yang diduga dilakukan oknum aparat) dan pimpinannya mengirim surat keringanan," ujar Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, kepada Media Indonesia, Senin, 29 November 2021.
 
Dia meminta surat telegram yang terbit pada 5 November 2021 itu dievaluasi. Aturan pemanggilan tentara harus mengetahui pimpinan satuan semakin memberatkan mekanisme penegakan hukum.
Sebab, selama ini proses pelanggaran oleh TNI melalui mekanisme internal militer. Fatia khawatir aturan tersebut akan melahirkan impunitas di tubuh TNI yang pada akhirnya berpotensi kebal pidana.
"Juga itu dapat melakukan tindakan apa saja karena ada upaya perlindungan dari atasan yang mana sejauh ini lazim terjadi sebelum adanya aturan tersebut," papar dia.
Fatia mengatakan ketentuan yang berujung pada keringanan oknum TNI terlibat tindak pidana menunjukkan perlindungan pada aparat. "Dengan adanya aturan tersebut, impunitas di tubuh TNI yang selama ini terjadi akan terus tumbuh. Maka sudah seharusnya dicabut demi penegakan hukum yang adil," ujar dia.
Surat telegram Panglima TNI tersebut terdiri dari empat poin penting. Pertama, pemanggilan prajurit TNI oleh Polri dan KPK harus melalui komandan atau kepala satuan. Kedua, Komandan harus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum jika pemanggilan tidak sesuai prosedur .
Ketiga, Prajurit TNI yang diperiksa harus didampingi perwira hukum atau satuan. Keempat, pemeriksaan prajurit TNI dapat dilakukan di kantor aparat hukum dengan didampingi perwira.
Baca: Panglima Pastikan Surat Telegram Tak Ganggu Proses Pemeriksaan Prajurit TNI
(REN)