"Polisi wajib memproses hukum pihak-pihak yang menguasai atau memiliki akun medsos yang terindikasi menyebarkan paham radikal, terutama paham yang menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan mengancam kedaulatan negara," kata Petrus, Kamis, 8 April 2021.
Dia mengatakan polisi bisa menjerat pemilik akun medsos radikal tersebut dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. "Pemblokiran itu baik sebagai langkah preventif, tetapi juga harusnya ditindaklanjuti dengan langkah pemidanaan. Hukum positif kita sudah mengaturnya."
Menurut dia, polisi tidak harus menunggu pengaduan atau laporan masyarakat. Polisi siber memiliki kemampuan dan kewenangan untuk bertindak tanpa harus ada pengaduan.
"Ini untuk mencegah meluasnya penyebaran paham radikal yang mengancam kedaulatan negara, kehormatan, dan wibawa negara," ucap Petrus.
Baca: Jokowi Tegaskan Tak Ada Kompromi dengan Tindakan Intoleran
Sebelumnya, mantan narapidana teroris Haris Amir Falah menyebut ada perubahan pola rekrutmen orang yang disiapkan melakukan aksi teror. Rekrutmen calon teroris tidak lagi melalui tatap muka, melainkan via media sosial.
Melalui media sosial, menurut Haris, calon pengantin bisa melakukan dialog tanpa bertemu tatap muka dengan pembinanya. Haris menuturkan sejumlah platform media sosial yang kerap dijadikan medium indoktrinasi serta rekrutmen teroris adalah Facebook dan Telegram.
Sedangkan Menteri Komunikasi dan Informatika Jhonny Plate mengatakan pemerintah mengawasi ruang siber menggunakan mesin crawling berbasis kecerdasan buatan (AI). Mesin ini memantau akun dan konten-konten yang terkait dengan kegiatan radikalisme dan terorisme.
Kemenkominfo juga berkoordinasi dengan kementerian atau lembaga serta stakeholder terkait lainnya soal penanganan penyebaran konten radikalisme dan terorisme di medsos. Kominfo juga berupaya menyampaikan konten positif untuk memberi literasi kepada masyarakat.
"Hingga 3 April 2021, kami telah memblokir konten radikalisme dan terorisme sebanyak 20.453 konten yang tersebar di situs internet serta beragam platform media sosial," ujar Jhonny.
(UWA)