"Berbagai bentuk teror (seperti) peretasan, pengawasan WhatsApp (WA), teror telepon, dan pengawasan email," ujar Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wiji Wijayanto dalam diskusi virtual, Kamis, 4 Maret 2021.
Wiji mencontohkan beberapa aktivis mendapatkan teror siber. Seperti kasus peretasan WA milik Ravio Patra pada 22 April 2020. Hal itu justru membuat Ravio ditangkap polisi atas tuduhan penyebaran berita onar melalui nomor WA-nya.
Kemudian, peretasan akun Instagram milik Pimpinan Redaksi Koran Tempo Budi Setyarso. Peretasan terjadi saat Budi memandu diskusi virtual yang membahas kasus teror terhadap mahasiwa di Universitas Gadjah Mada, pada 31 Mei 2020.
(Baca: 21 Akun Medsos Dapat Peringatan dari Virtual Police)
Selanjutnya, perentasan akun Twitter pribadi milik epidemiolog Pandu Riono pada 19 Agustus 2020. Peretasan diduga usai ia mengkritik pemerintah terkait penanganan pandemi covid-19. Serta masih ada beberapa kasus lain yang mengancam aktivis prodemokrasi.
"Kita masih belum lihat solusi dari permasalahan ini, meskipun polisi siber sudah ada sejak lama," tutur dia.
Wiji menyebut negara telah memberikan anggaran Rp937 miliar untuk aktivitas digital kepolisian. Namun, dana tersebut tidak digunakan secara maksimal.
"Sejauh ini kita melihat bahwa alih-alih mendorong kebebasan berekspresi, polisi siber dan polisi virtual justru menciptakan persepsi ancaman," tutur dia.
(REN)