"Praktik itu bertentangan dengan hak asasi manusia," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulis, Rabu, 15 Februari 2021.
Kurnia menyebut efek jera untuk koruptor ialah hukuman penjara seumur hidup. Serta dibarengi upaya pengembalian kerugian negara.
"Lebih tepat jika dikenakan kombinasi hukuman berupa pemidanaan penjara maksimal serta diikuti pemiskinan koruptor, pengenaan uang pengganti untuk memulihkan kerugian keuangan negara, atau menjerat pelaku dengan Undang-Undang Anti Pencucian Uang," ujar Kurnia.
Dia menyarankan koruptor tidak dihukum mati. Pasalnya, belum ada bukti hukuman mati untuk pelaku rasuah berhasil menurunkan tindakan korupsi.
"Sampai saat ini, belum ditemukan adanya korelasi konkret pengenaan hukuman mati dengan menurunnya jumlah perkara korupsi di suatu negara," tutur Kurnia.
(Baca: Hukuman Mati Koruptor Dana Covid-19 Dinilai Setimpal)
ICW mengingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sembarangan menggunakan hukuman mati untuk menentukan nasib seseorang. ICW menyarankan Lembaga Antikorupsi mencari pasal lain yang bisa mengembalikan kerugian negara dari tindakan rasuah ketimbang menghukum mati koruptor.
"Misalnya, untuk perkara yang menjerat Juliari (mantan Mensos Juliari P Batubara), alih-alih mengenakan pasal terkait kerugian negara, sampai saat ini saja KPK seperti enggan atau takut untuk memproses atau memanggil beberapa orang yang sebenarnya berpotensi kuat menjadi saksi," tegas Kurnia.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menilai dua mantan menteri di Kabinet Indonesia Maju, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, layak dituntut hukuman mati. Sebab, keduanya melakukan korupsi di tengah pandemi covid-19.
(REN)