Mahasiswa dan buruh yang melakukan aksi terbagi menjadi tiga kelompok. Mereka mulai memadati kantor perwakilan rakyat tersebut sejak pukul 11.30 Wita. Ribuan mahasiswa dan buruh itu berorasi menyuarakan aspirasi penolakan terhadap Undang-Undang Omnibus Law
"Pengesahan ini (UU Ciptaker) sangat tidak manusiawi. Karena, kepastian kerja bagi para pekerja itu sudah tidak ada," kata Ketua Konfederasi Serikat Nusantara Sulawesi Selatan, Armianto, di sela-sela aksi di depan Kantor DPRD Sulsel, Kamis, 8 Oktober 2020.
Baca: Aksi Tolak UU Cipta Kerja di Sumenep Terjadi Dua Gelombang
Dia menjelaskan Undang-Undang Cipta Kerja itu mengebiri hak dari para pekerja seperti tidak ada lagi kepastian status tenaga outsourcing menjadi karyawan karena tidak ada perjanjian kerja antar waktu (PKWT). Karena hal itu diserahkan sepenuhnya oleh perusahaan.
"Undang-undang ini akan menjadikan para buruh berstatus kontrak seumur hidup, outsourcing seumur hidup," jelasnya.
Tidak hanya itu, Undang-Undang Omnibus Law juga memastikan bahwa para pekerja nantinya tidak akan mendapatkan pesangon. Karena pemberian pesangon yang diatur dalam undang-Undang tersebut sesuai dengan perjanjian oleh perusahaan.
"Anggota dewan sudah menghianati kami sebagai rakyat," ungkapnya.
Dari Front Perjuangan Rakyat (FPR) Sulawesi Selatan, Angga, menjelaskan bahwa pihaknya terus meminta Undang-undang Omnibus Law untuk di cabut. Hal itu lantaran akan lebih menyengsarakan rakyat, khususnya para pekerja atau buruh. Karena akan memangkas upah para buruh.
"Kenapa karena upah minimum kabupaten dan kota (UMK) ditiadakan dan disatukan ke upah minimum provinsi (UMP)," ujarnya.
(DEN)