"Sejak 2016, kerugian sudah mencapai Rp430 juta. Tahun 2017 mencapai Rp1,5 miliar. Tahun 2018 meningkat hingga Rp5,5 miliar dan 2019 kerugiannya mencapai Rp1,5 miliar," ujar Sekretaris Perusahaan PT PG Rajawali II, Erwin Yuswanto, Rabu, 19 Februari 2020.
Ia menerangkan kerugian yang dirasakan oleh Pabrik Gula Sindanglaut dikarenakan kurangnya suplai bahan baku tebu. Hingga 2019, rata-rata petani hanya menyuplai 58 persen bahan baku ke pabrik.
Erwin mengatakan manajemen telah menyosialisasikan ke para petani tebu ihwal ditutupnya pabrik. Dia mengaku para petani menerima keputusan manajemen untuk membekukan operasi PG Sindanglaut.
"Namun, mereka tetap meminta agar ke depan PG Sindanglaut bisa dioperasikan kembali," tandasnya.
Sementara itu, Heriyanto, seorang mantan petani tebu mengaku memilih berhenti menjadi petani tebu pada 2017. Dia telah bertani tebu selama 10 tahun.
Heriyanto mengungkap alasannya berhenti bertani tebu karena tingkat rendemen di PG Sindanglaut minim. Anjloknya rendemen tebu dirasakan sejak 2010.
"Awalnya bisa mencapai 13 persen, namun terus anjlok. Pada 2017 hanya mencapai sekitar 6 persen," kata Heri.
Menurutnya, banyak petani yang merugi karena minimnya rendeman yang dihasilkan di PG Sindanglaut. Dia menduga mesin penggiling yang digunakan di pabrik tersebut menjadi sebab minimnya hasil rendeman.
"Banyak yang ingin bertani tebu, tapi kalau hasil rendemennya masih minim begitu, akhirnya banyak yang memilih bertani yang lain," bebernya.
(LDS)