"Saya mau katakan bahwa mereka (AMP) sudah melakukan propaganda kepada para mahasiswa baru yang ingin menempuh pendidikan. Akhirnya, karena mereka (mahasiswa baru), maka ikut saja apa yang sudah dikatakan seniornya," kata Waterpauw, Rabu, 8 Juli 2020.
Jenderal bintang dua itu menekankan pemerintah daerah berperan untuk menertibkan asrama yang telah beralih fungsi jadi lokasi pergerakan melawan negara. Pemerintah daerah diminta saling berkoordinasi dengan pemerintah pusat.
"Karena pemerintah yang mengeluarkan biaya kepada anak-anak Papua menimba ilmu di beberapa wilayah di Indonesia," ujarnya.
Baca: Isu Papua Diminta Tak Disamakan dengan Rasisme AS
Waterpauw menerangkan penertiban yang dilakukan dengan mengeluarkan para mahasiswa yang tidak berkuliah dengan baik. Kemudian, mengganti dengan anak Papua yang bersungguh-sunggu menimba ilmu.
"Kami ikuti dari awal siapa yang membentuk AMP. Apalagi dulu kita pernah dengar yang namanya AMPTI (Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Indonesia), dan mereka ini juga adalah aktor-aktor yang tergabung dalam KNPB (Komite Nasional Papua Barat) yang kemudian ada hubungan dengan klasfikasi jabatan untuk duduk atau bernaung di ULMWP (United Liberation Movement for West Papua)," bebernya.
Dia mencontohkan, kasus rasialisme di Surabaya tahun lalu. Saat itu, Gubernur Papua Lukas Enembe dilarang masuk ke dalam asrama mahasiswa, bahkan Ibu Gubernur Yulce Enembe dilempari pasir.
Mau jadi apa generasi emas Papua kedepannya? Orang yang berjuang untu mengeluarkan dan beasiswa untuk mereka kuliah malah disuruh pulang bahkan dilempari. Ini sudah cukup keterlaluan," ujarnya.
Waterpauw berharap, pemerintah Provinsi Papua bisa tegas menertibkan seluruh asrama yang ada di luar Papua. Demi menyelamatkan generasi emas Papua di masa yang akan datang.
(LDS)