"Ada sejumlah tantangan bagi demokrasi," kata Helmy dalam diskusi 'Menuju Bali Democracy Forum: Demokrasi di Era Pandemi, Menjawab Tantangan Dari Setiap Negeri, Kamis, 2 Desember 2021.
 
Baca: 62 Ribu Buruh di Sulsel Akan Terima Subsidi Upah
Helmy menyebut tantangan antara lain dari dunia digital yang semakin marak digunakan selama pandemi. Pada pelantar digital bertebaran berbagai hal yang disebut justru mengancam demokrasi.
"Paham-paham transnasional disebar melalui pelantar digital. Paham-paham itu memanfaatkan demokrasi untuk menghapuskan demokrasi," jelasnya.
Menurut Helmy prinsip demokrasi yang membolehkan perbedaan pendapat membuat penyebaran paham tidak mungkin dilarang. Hal yang bisa dilakukan adalah meningkatkan pemahaman masyarakat atas isu-isu tersebut.
Di sisi lain menurut Helmy, demokrasi bukan hanya soal hak berbeda pendapat. Dibutuhkan kesiapan dan kesabaran untuk mengembangkan demokrasi sebab membutuhkan waktu panjang.
Menurutnya demokrasi tidak hanya dari paradigma sekuler yang memisahkan sepenuhnya agama dan kehidupan publik, termasuk sistem hukum dan politik. Demokrasi juga bisa menggunakan paradigma simbiotik seperti diterapkan di Indonesia
Sementara pakar politik internasional pada Universitas Paramadia, Mahmud Syaltout, mengatakan dampak nyata pandemi adalah tekanan ekonomi. Pada situasi ini, demokrasi transaksional semakin marak dan para calon petahana di pemilu cenderung diuntungkan.
Tekanan ekonomi juga membuat sebagian orang kesulitan menerima keragaman. Padahal demokrasi membutuhkan keragaman. "Ini tercermin dari kasus Charlie Hebdo di Perancis. Selama pandemi, seperti kelompok lain, toko-toko milik warga muslim Perancis tutup. Bisnis jasa mereka tidak berjalan. Mereka jadi sensitif," jelasnya.
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah, mengatakan pandemi memberi kesempatan kepada negara demokrasi untuk mencari model keseimbangan baru.
Sebab ada kebutuhan pengendalian pandemi dan di sisi lain ada kebutuhan tetap menjaga hak-hak warga.
"Pada negara-negara demokrasi, percobaan mencari keseimbangan itu dimungkinkan karena pemerintah dan masyarakat bisa bebas menyatakan pendapatnya," ungkap Faizasyah.
(DEN)