"Bahaya yang kita saksikan pekan lalu bisa membawa negara ini ke dalam perang saudara," kata Burhan, dilansir dari BBC, Rabu, 27 Oktober 2021.
 
"Perdana Menteri ada di rumahnya, tapi kami khawatir dia akan dilukai," tambahnya.
Kudeta berlangsung pada Senin lalu yang dikenal dengan 'serangan fajar'. Perdana Menteri Abdalla Hamdok digulingkan dan ditahan di rumah sang jenderal.
"Saya bersamanya tadi malam, dan dia akan menjalani hidupnya lagi. Dia akan kembali ke rumahnya saat krisis usai dan semua ancaman hilang," lanjut Burhan.
Baca juga: Pemimpin Kudeta Sudan: PM Abdalla Hamdok Ada di Rumah Saya
Jenderal itu mengatakan telah membubarkan pemerintahan sipil, menangkap para pemimpin politik dan menyerukan keadaan darurat karena kelompok politik menghasut warga sipil melawan pasukan keamanan.
Protes antikudeta terus berlangsung. Selama dua hari, dilaporkan 10 orang tewas akibat bentrokan dengan militer.
Jurnalis BBC di Khartoum mengatakan, Jenderal Burhan telah menyiapkan daftar panjang menteri dan berjanji untuk mengumumkan pengangkatan hakim tinggi dalam waktu dua hari. Pernyataannya menunjukkan adanya perencanaan sebelum kudeta.
Pengambilalihan kekuasaan itu menuai kecaman global. Amerika Serikat (AS), Inggris, Uni Eropa, PBB dan Uni Afrika menentang kudeta tersebut. Mereka menuntut pembebasan semua pemimpin politik yang ditangkap, termasuk anggota kabinet Hamdok.
AS menghentikan bantuan senilai USD700 juta (setara Rp9,9 triliun) untuk Sudah. Uni Eropa juga mengancam akan melakukan hal yang sama.
Sejak kudeta, bandara kota ditutup dan smeua penerbangan dibatalkan hingga Sabtu.
Jenderal Burhan, yang merupakan kepala dewan pembagian kekuasaan. Ia mengatakan, Sudan berkomitmen untuk transisi ke pemerintahan sipil dengan pemilihan yang direncanakan pada Juli 2023.
(FJR)