Gelombang kedua ini membebani pasar keuangan global pada Senin, 26 Oktober 2020, karena lonjakan infeksi mengaburkan prospek ekonomi.
Saham AS mengalami keterpurukan dalam lebih dari tujuh pekan terakhir. Ini terjadi saat AS dan sejumlah negara lainnya sedang berlomba-lomba mengembangkan vaksin covid-19 yang dinilai sebagai 'senjata' paling efektif dalam mengakhiri pandemi.
Namun, Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock memperingatkan, vaksin covid-19 belum akan tersedia secara luas, setidaknya hingga tahun depan. "Kami belum sampai ke sana," kata dia, dilansir dari Channel News Asia, Selasa, 27 Oktober 2020.
Jumlah kasus covid-19 di AS naik 24 persen, sedangkan jumlah tes yang dilakukan naik 5,5 persen. Di Eropa, kenaikan angka infeksi tercatat di sejumlah negara besar.
Prancis mencatat lebih dari 50 ribu kasus harian untuk kali pertama pada akhir pekan kemarin. Sementara kasus kematiannya sudah melampaui 250 ribu.
Kepala Dewan Penasihat Pemerintah Prancis, Profesor Jean-Francois Delfraissy mengatakan, memprediksi akan adanya rekor 100 ribu infeksi baru covid-19 dalam satu hari.
Jerman juga mengalami hal serupa, meski lebih rendah dibanding Prancis. "Kami akan menghadapi bulan-bulan yang sangat sulit ke depan," tutur Kanselir Jerman Angela Merkel.
Baca: Covid-19 Merebak Lagi, Jerman Larang Warga ke Tiga Negara Eropa
Pemerintah Spanyol menghadapi reaksi keras dari sejumlah elemen masyarakat atas rencana penerapan status darurat selama enam bulan ke depan. Menurut kubu oposisi Spanyol, enam bulan terlalu lama, sementara ahli epidemiologi menilai langkah tersebut seharusnya diambil lebih dini.
Sementara Rusia, yang menyatakan sudah memiliki vaksin covid-19 pertama di dunia pada Agustus lalu, memiliki rekor infeksi harian tertinggi di angka 17.347. Dengan total 1,5 juta kasus infeksi, Rusia menjadi negara dengan kasus covid-19 keempat terbesar di dunia setelah AS, India, dan Brasil.
(WIL)