Menjelang pertemuan virtual pada Jumat kemarin, Prancis dan Austria telah merilis sebuah kerangka pernyataan, yang berisi seruan untuk berupaya lebih keras dalam "memerangi Islamisme." Namun berdasarkan laporan media Politico, beberapa anggota UE lainnya menolak mengaitkan Islam dengan perang melawan terorisme.
"Perang melawan terorisme tidak dkitujukan kepada agama atau keyakinan politik tertentu, melainkan kepada kelompok fanatik dan ekstremisme kekerasan," ungkap pernyataan gabungan menlu-menlu UE, dilansir dari laman Yeni Safak pada Sabtu, 14 November 2020.
Pernyataan gabungan para menlu juga menekankan pentingnya inklusi, kohesi dan integrasi sosial dalam perang melawan radikalisme dan ekstremisme.
"Perasaan memiliki dan kesetaraan merupakan hal penting dalam kohensi sosial di masyarakat kita yang modern, pluralis dan terbuka," sebut pernyataan tersebut.
"Keberhasilan integrasi merupakan kunci penting hal hal ini. Integrasi berlangsung dua arah. Ini artinya, para imigran diharapkan melakukan upaya aktif untuk berintegrasi," lanjut mereka.
Presiden Prancis Emmanuel Macron memicu gelombang kritik usai menyebut Islam sebagai agama yang sedang berada "dalam krisis" di seluruh dunia. Ia juga dikecam karena membela perilisan ulang kartun Nabi Muhammad buatan majalah Charlie Hebdo.
Padahal kartun tersebut telah memicu rangkaian aksi kekerasan di Prancis, termasuk pemenggalan seorang guru di dekat Paris dan juga penikaman di kota Nice.
Baca: Pemenggalan Guru Prancis Saling Terkait
Sejumlah kritikus menilai sikap Macron bernuansa politik, dengan menerapkan pandangan populis sayap kanan demi menyenangkan kelompok tersebut di seantero negeri.
Kanselir Austria Sebastian Kurz juga memicu kritik pekan ini usai menghubungkan Islam dengan perang melawan terorisme. Ia mengusulkan menjadikan "politik Islam" sebagai sebuah pelanggaran, dalam upaya menutup sejumlah organisasi Muslim di Austria.
(WIL)