Dukungan untuk kesepakatan ini mencapai 51,6 persen dan 48,3 persen yang menolaknya. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan jajak pendapat yang sebelumnya dilakukan.
Swiss menandatangani pakta tersebut pada 2018 bersama dengan anggota Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa lainnya Islandia, Norwegia, dan Liechtenstein.
Suara mendukung lebih banyak di wilayah Zurich yang menyegel nasib referendum. Sedangkan kantong utama perlawanan adalah wilayah berbahasa Prancis seperti Jenewa (di mana banyak perusahaan komoditas berbasis) dan Kota Vaud yang menjadi markas raksasa makanan Swiss Nestlé.
“Minyak sawit menjadi jantung referendum perjanjian perdagangan bebas antara Swiss dan Indonesia,” laporan Swissinfo.ch yang dikutip Senin 8 Maret 2021.
“Kesepakatan itu bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan dengan negara Asia Tenggara itu dan sekarang akan menghapus bea masuk atas ekspor Swiss seperti keju, produk farmasi, dan jam tangan,” imbuh laporan tersebut.
“Indonesia, pada bagiannya, akan dapat menjual produk industrinya di pasar Swiss bebas bea. Penurunan tarif juga direncanakan untuk produk pertanian tertentu, khususnya minyak sawit, di mana Indonesia merupakan penghasil dan pengekspor terbesar di dunia,” sebut laporan Swiss Info.
Sementara mereka yang mendukung referendum termasuk penentang globalisasi, partai sayap kiri dan beberapa organisasi non-pemerintah (LSM). Argumen mereka menentang kesepakatan perdagangan bebas sebagian besar bersifat lingkungan, dengan penentangnya menunjukkan bahwa budidaya kelapa sawit terkait dengan perusakan hutan hujan.
Di sisi lain, para pendukung kesepakatan tersebut berpendapat bahwa minyak sawit yang diimpor harus memenuhi standar lingkungan tertentu agar memenuhi syarat untuk pengurangan tarif.