Meski sudah ada perjanjian tentatif, implementasi di lapangan merupakan tantangan tersendiri. Salah satu tantangan utama adalah mendorong para jenderal di dewan militer Sudan untuk benar-benar berbagi kekuasaan dengan tokoh sipil.
"Satu-satunya jalan ke depan adalah menghormati perjanjian yang telah dinegosiasikan kedua pihak," kata Alan Boswell, analis senior dari International Crisis Group, disitat dari AFP, Minggu 7 Juli 2019.
Badan gabungan sipil-militer yang telah disepakati nantinya akan mengawasi formasi pemerintahan transisi di Sudan. Badan tersebut akan berkuasa selama tiga tahun -- poin utama dari permintaan demonstran.
Kedua kubu juga sepakat bahwa badan gabungan akan dilengkapi sistem rotasi kepresidenan. Sistem tersebut merupakan terobosan dari perselisihan dua kubu selama berbulan-bulan usai tergulingnya presiden Omar al-Bashir.
Ketegangan kedua kubu mencapai puncaknya pada 3 Juni, saat sekelompok pria berpakaian militer menyerbu kamp pedemo di Khartoum. Puluhan orang tewas dalam penyerbuan tersebut, yang langsung memicu kecaman global. Dewan militer Sudan berkukuh tidak memerintahkan penyerbuan.
Baca: Tujuh Tewas dalam Aksi Protes Terbaru di Sudan
Perjanjian berbagi kekuasaan di Sudan tercapai usai upaya mediasi intens oleh Ethiopia dan juga sejumlah diplomat Uni Afrika.
"Segala jenis perjanjian adalah langkah positif. Tantangannya adalah meyakinkan dewan militer untuk melakukan apa yang telah disepakati," ungkap Boswell kepada AFP.
Pada Sabtu 6 Juli, kepala dewan militer Sudan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan berjanji akan "mengimplementasikan" perjanjian tentatif. Ia juga akan terus "bekerja sama secara erat" dengan perwakilan pengunjuk rasa.
Total enam tokoh sipil dan lima perwakilan militer akan mengisi badan pemerintah gabungan. Enam warga sipil meliputi lima dari pemimpin gerakan protes: Aliansi untuk Kebebasan dan Perubahan.
Seorang jenderal akan memimpin badan itu selama 21 bulan pertama. Untuk 18 bulan sisanya, posisi itu akan diisi tokoh sipil.
(WIL)