“Rasa percaya itu diperlukan di samping kedua negara juga harus memiliki hubungan yang terbuka dan inklusif. Saya percaya Tiongkok bisa melakukan itu,” kata anggota Komite Hubungan Luar Negeri Konsultasi Politik Tiongkok Yang Yanyi, dalam sebuah diskusi di CSIS, Jakarta, Rabu 3 Juli 2019.
Sangat jelas, ujar dia, bahwa Tiongkok telah menganut sistem keterbukaan selama menjalin kerja sama dengan AS. Yanyi berharap, perang dagang saat ini dapat cepat mereda dan AS pun kembali kooperatif.
“Terkadang urusan politik juga memengaruhi perang dagang saat ini. Namun Tiongkok berusaha untuk meredamnya. Tiongkok dan AS adalah dua kekuatan besar di dunia yang seharusnya tidak berperang,” lanjutnya.
Sejumlah pakar mengatakan, peningkatan tarif yang dilakukan Presiden AS Donald Trump berdampak kecil bagi Tiongkok. Negeri Tirai Bambu ini akan terus melebarkan sayap ekspornya ke negara lain, sembari tetap mengekspor ke AS.
Tak hanya itu, AS yang membatasi ekspor teknologi tinggi ke Tiongkok akan mendorong defisit perdagangan AS. Anjloknya mata uang Yuan yang disebabkan oleh perang perdagangan membuat pemerintah AS khawatir tentang efek penurunan tarif yang lebih tinggi.
Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping telah sepakat memulai kembali negosiasi dagang kedua negara yang bermasalah dan berimbas pada stabilitas global. Kesepakatan itu tercapai dalam pertemuan antara Trump dan Xi di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Osaka, Jepang, akhir Juni kemarin.
(FJR)