Myanmar berada dalam kekacauan sejak 1 Februari ketika militer menggulingkan dan menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi. Kudeta telah mengakhiri upaya selama satu dekade negara itu untuk transisi ke demokrasi dan memicu protes massa setiap hari.
Baca: Pedemo Tewas di Myanmar Bertambah, Termasuk Remaja 14 Tahun.
Tekanan internasional pun meningkat dengan kekuatan Barat telah berulang kali menghantam para jenderal dengan sanksi. Inggris telah menyerukan pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada Jumat, dan setelah kematian Rabu, Amerika Serikat mengatakan sedang mempertimbangkan tindakan lebih lanjut.
Tetapi pemerintah militer sejauh ini mengabaikan kecaman global, menanggapi protes massa dengan kekuatan yang meningkat.
"Hari ini, 38 orang tewas," ujar utusan PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mengatakan kepada wartawan Rabu, seperti dikutip AFP, Kamis 4 Maret 2021.
Schraner menambahkan bahwa lebih dari 50 orang telah tewas secara total sejak pengambilalihan militer, dengan lebih banyak lagi yang terluka.
"Hari ini adalah hari paling berdarah sejak kudeta terjadi," katanya, tanpa memberikan rincian lebih lanjut, termasuk rincian kematian.

Tentara Myanmar menangkap salah satu pedemo penentang militer. Foto: AFP
Lebih lanjut Schraner meminta PBB untuk mengambil ‘tindakan yang sangat keras’ terhadap para jenderal. Dirinya menambahkan bahwa dalam percakapannya dengan mereka, para jenderal telah menepis ancaman sanksi.
Para jenderal telah berjanji untuk mengadakan pemilihan dalam "satu tahun".
"Saya akan terus maju, kami tidak akan menyerah," kata Schraner.
Sementara Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Ned Price mengatakan,kekerasan membuat Amerika Serikat "terkejut dan jijik”.
"Kami meminta semua negara untuk berbicara dengan satu suara untuk mengutuk kekerasan brutal oleh militer Burma terhadap rakyatnya sendiri,” ungkapnya.
Baca: Terus Bertambah, Pedemo Tewas di Myanmar Jadi 10 Orang.