Para migran, yang menurut para aktivis termasuk pencari suaka yang rentan, berangkat dengan tiga kapal angkatan laut Myanmar dari pangkalan militer Malaysia. Mereka tiba dengan truk dan bus di bawah pengawalan polisi.
Baca: Malaysia Tunda Deportasi 1.200 Imigran Myanmar.
Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan kelompok hak asasi mengkritik rencana tersebut. Sementara beberapa jam sebelum deportasi, pengadilan Kuala Lumpur memerintahkan dihentikan sementara untuk memungkinkan adanya gugatan hukum.
Para aktivis akan berpendapat bahwa itu tidak boleh dilanjutkan karena Malaysia akan melanggar tugas internasionalnya dengan mendeportasi orang-orang yang rentan, dan perebutan kekuasaan oleh militer Myanmar menempatkan mereka pada risiko yang lebih besar.
Tetapi kapal-kapal tersebut kemudian berlayar membawa 1.086 imigran Myanmar, dengan pihak berwenang tidak memberikan penjelasan mengapa perintah pengadilan tersebut diabaikan.
Amnesty International, salah satu kelompok yang mengajukan gugatan hukum, mengatakan terus maju dengan pemulangan yang bertentangan dengan keputusan itu "tidak manusiawi dan menghancurkan".
"Keputusan yang mengancam nyawa ini telah mempengaruhi kehidupan lebih dari 1.000 orang dan keluarga mereka, dan meninggalkan noda yang tak terhapuskan dalam catatan hak asasi manusia Malaysia," kata Katrina Jorene Maliamauv, Direktur Eksekutif Amnesty International Malaysia, seperti dikutip AFP, Rabu 24 Februari 2021.
Phil Robertson, Wakil Direktur Asia untuk Human Rights Watch mengatakan, Malaysia telah "mengirim mereka kembali ke tangan junta militer yang dikenal karena menganiaya mereka yang melarikan diri dari negara karena alasan politik".
Kepala imigrasi Malaysia Khairul Dzaimee Daud telah menawarkan jaminan bahwa tidak ada anggota minoritas Rohingya yang dianiaya -,tidak diakui sebagai warga negara di Myanmar,- atau pencari suaka telah dipulangkan.
“Semua yang telah dideportasi setuju untuk kembali atas kehendak bebasnya sendiri, tanpa dipaksa,” kata Dzaimee.