"Pelarangan nikel itu final. Gak bisa lagi," kata Kepala BKPM Bahlil Lahadalia ditemui di Ruang Nusantara, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis, 9 Januari 2020.
Bahlil menjelaskan tujuan larangan ekspor ore agar industri dalam negeri menghasilkan nilai tambah dalam mengelola hasil bumi.
Di sisi lain, pemerintah juga ingin mengejar momentum pengembangan industri kendaraan listrik di Tanah Air. Pasalnya, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia sebesar 23,7 persen untuk memproduksi baterai lithium ion.
"Nikel itu sekarang kita sudah bagaimana memfokuskan investasi untuk membikin lithium baterai mobil. Nah kalau mereka ingin baterai, ya beli aja produknya dari Indonesia," tuturnya.
Lebih lanjut, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019 tersebut tidak melanggar aturan perdagangan internasional yang diberlakukan oleh WTO lantaran pemerintah memiliki dasar hukum dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
"Tapi itu UU Minerba kita yang udah menyatakan 2014 udah stop. Jadi bagi kita engga masalah, kalau itu di WTO kan monggo aja. Itu hak negara orang, engga boleh kita larang," pungkas dia.
Berdasarkan data UN Comtrade, Indonesia terakhir kali mengekspor bijih nikel dengan kode harmonized system (HS) 2604 ke Uni Eropa pada 2014. Ekspor RI ke blok negara Eropa mencapai 38.335 ton. Namun, sejak 2015-2018 Indonesia tidak mengekspor bijih nikel ke UE.
(SAW)