Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan industri hasil tembakau (IHT) merupakan salah satu industri strategis nasional yang mempunyai andil besar dalam perekonomian Indonesia. Di tengah pandemi covid-19, IHT berdampak secara ekonomi, meski pemerintah masih menggantungkan industri ini sebagai penopang penerimaan negara.
"Penerimaan cukai merupakan kontributor ketiga terbesar dalam penerimaan dalam negeri, 95 persen berasal dari Cukai Hasil Tembakau (CHT)," kata Misbakhun dalam webinar 'Kepastian Hukum Industri Hasil Tembakau sebagai Industri Strategis' di Jakarta, Sabtu, 15 Agustus 2020.
Legislator Partai Golkar itu menambahkan, IHT memiliki rantai bisnis industri yang luas sehingga menciptakan efek pengganda, seperti terbukanya lapangan kerja baru. Sebagai industri strategis, IHT termasuk industri yang memenuhi persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang tinggi karena menggunakan bahan baku dalam negeri.
"Kretek sebagai produk khas IHT Indonesia memiliki daya tawar yang tinggi di pasar lokal maupun internasional (ekspor). Kretek memiliki ciri khas dan keunikan dibanding produk IHT negara lain. Artinya, IHT juga memiliki potensi yang besar menarik dan mengembangkan sektor hulu (pertanian)," ungkap dia.
Dosen Hukum Bisnis Universitas Jember Fendi Setyawan berpendapat di tengah strategisnya peran IHT tersebut, industri ini dihadapkan pada polemik yang berkepanjangan. Besarnya potensi kontribusi CHT menyebabkan kebijakan cukai semakin eksesif, terlihat dari pencapaian target penerimaan daripada pengendalian atau pembatasan konsumsi rokok.
"Desain kebijakan cukai hampir setiap tahun berubah lewat instrumen Peraturan Menteri Keuangan (PMK), berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan mengancam keberlangsungan IHT. Hal ini berdampak pada penurunan tenaga kerja di industri dari hulu hingga ke hilir. Belum lagi dampak juga akan terasa pada perekonomian daerah yang mengandalkan perkebunan tembakau dan industrinya," jelasnya.
Menurut Fendi, kenaikan tarif cukai justru membuka peluang rokok ilegal semakin merebak, upaya pengendalian konsumsi justru tidak tercapai. Karenanya, hal terpenting adalah instrumen cukai IHT harus efektif mengendalikan konsumsi rokok sehingga diperlukan arah yang jelas masa depan IHT untuk meminimalisir kegaduhan polemik IHT dengan merumuskan strategi pengembangan yang tepat.
Fendi mendesak agar pemerintah merumuskan strategi kebijakan penyusunan peta jalan (roadmap) industri hasil tembakau dan rencana strategis pertembakauan nasional yang berbasis kesejahteraan petani dan pasar global, baik sebagai potensi pariwisata warisan budaya, maupun diversifikasi produk hasil tembakau nonrokok.
"Roadmap IHT harus komprehensif dengan mengedepankan kedaulatan dan kemandirian bangsa, agar mengharmonisasikan semua pemangku kepentingan. Sehingga, menjadi acuan bersama agar dipatuhi semua pihak demi menjaga kelangsungan IHT," jelas dia.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Supriadi mengatakan IHT masih dilihat secara parsial, dari perspektif kesehatan semata. Padahal, IHT berkontribusi sangat besar bagi Negara dan memberikan dampak luas baik secara sosial, ekonomi, maupun budaya terhadap pembanguan bangsa.
"Karenanya, kerangka yang digunakan untuk mengatur IHT tidak semata-mata pendekatan kesehatan masyarakat, namun pendekatan industri. Aspek kesehatan dan sosial ekonomi harusnya berdampingan, bukan saling mematikan karena sektor kesehatan masih memerlukan subsidi yang bisa dipenuhi dari kontribusi IHT terhadap penerimaan negara," pungkasnya.
(AHL)