Adapun salah satu dasar dari wacana ini adalah untuk mengendalikan konsumsi rokok. Lantas, apakah regulasi ini bakal berhasil?
Direktur Riset Center of Reform on Economics atau CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai upaya tersebut kurang efektif.
"Masalahnya di Indonesia ini, dibatasi seperti apapun, orang tetap merokok. Kita hanya dibatasi dicukai, tapi tidak dibatasi diperilaku," ujarnya saat dihubungi Medcom.id, Rabu, 4 September 2019.
Alih-alih mngurangi jumlah perokok, menaikkan tarif cukai tembakau justru akan memberatkan masyarakat dan berimbas pada berkurangnya kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan yang lainnya.
"Sementara biaya pendidikan dan kualitas pangan berkurang karena terserap di biaya rokok," kata dia.
Menaikkan cukai dinilai bukan satu-satunya cara untuk mengendalikan konsumsi rokok. Pemerintah bisa melakukan kebijakan lain seperti membatasi merokok di ruang-ruang publik.
"Jangankan di daerah, di Jakarta saja, aturan ini belum bisa ditegakkan," tuturnya.
PMK 146/2017 yang direvisi menjadi PMK 156/2018 telah membuat golongan tarif cukai rokok berdasarkan jenisnya yaitu sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT). Golongan tarif itu disusun berdasarkan produksi untuk membedakan perusahaan besar dan kecil. Namun, temuan yang ada saat ini menunjukkan perusahaan besar masih bersaing dengan perusahaan kecil.
Dalam outlook APBN 2019, pendapatan cukai diperkirakan sebesar Rp165,76 triliun, atau mengalami peningkatan sebesar 3,7 persen dari 2018. Peningkatan tersebut diharapkan dapat tercapai dari keberhasilan pelaksanaan program PCBT, assessment kapasitas produksi pabrik-pabrik rokok besar, dan penyempurnaan ketentuan terkait penundaan dan pelunasan cukai.
(AHL)