Namun, ketika dihadapkan pada pandemi covid-19, pertumbuhan kredit langsung anjlok. Selain karena melemahnya permintaan (demand), kondisi ini juga disebabkan oleh sikap industri perbankan yang semakin selektif dalam menyalurkan kredit di tengah persepsi tingginya risiko kredit.
Meskipun begitu, Heru menganggap bahwa kinerja perbankan saat ini masih dalam kondisi yang aman. Tapi, industri perbankan nasional juga diminta untuk tidak lengah dan tetap mempersiapkan tindakan antisipatif.
"Meski risiko kredit itu masih berada dalam rentang yang aman, namun ada potensi peningkatan loan at risk yang cukup tinggi. Kami melihat bahwa itu perlu dilihat sebagai tantangan ke depan yang harus segera diatasi," ucap Heru dalam Launching dan Konferensi Pers Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia (RP2I) 2021-2025 secara virtual, Kamis, 18 Februari 2021.
Menurutnya, peningkatan risiko kredit serta meningkatnya likuiditas perbankan menyebabkan tekanan pada stabilitas perbankan. Ini terlihat dari sejumlah indikator kinerja perbankan seperti Net interest Margin (NIM) hingga Return on Assets (ROA).
"NIM kita sudah mulai turun menjadi 4,32 persen yang pada tahun-tahun sebelumnya kita mencatatkan NIM perbankan kita lebih dari lima persen. Kemudian return on assets juga demikian, menunjukkan penurunan dengan BOPO (Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional) yang naik tapi masih dalam rentang yang cukup baik," paparnya.
Oleh karena itu, tegas Heru, industri perbankan nasional perlu tetap memperhatikan potensi-potensi risiko yang bakal dihadapi ke depannya. Utamanya soal kesenjangan antara pertumbuhan kredit yang terkontraksi minus 2,41 persen (yoy) dengan pertumbuhan DPK sebesar 11,11 persen (yoy).
"Tentu saja ini menjadi perhatian kita semua untuk bagaimana kita nanti perbankan terus membuat medikasi (terapi) terhadap berbagai tantangan dan angka-angka yang kita sampaikan tadi," pungkas Heru.
(DEV)