Adapun inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Gita Wirjawan berbagi dan mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Mantan Menteri Perdagangan periode 2011-2014 ini menjadi pembicara dalam acara "The Future of Gen Z" yang digelar platform edukasi keuangan, Ternak Uang.
Menanggapi fenomena ini, Gita justru melihat sebuah peluang jangka panjang untuk berinvestasi. Namun untuk bisa melihat celah tersebut, pria yang sempat menjabat sebagai Presiden Direktiur JP Morgan Indonesia itu menerangkan, semua prosesnya dimulai dengan memahami literasi keuangan.
"Sekarang, duit yang dicetak di negara-negara maju itu banyak banget. Jadi, kalau momen ini tidak dimanfaatkan dengan pengetahuan, literasi keuangan, itu sayang banget. Padahal, suku bunga makin rendah. Semakin rendah, kewirausahaan harus ditingkatkan. Bagaimana cara meningkatkannya? Ya dimulai dari edukasi finansial," sebut Gita.
Pelonggaran kuantitatif
Gita memperkirakan inflasi yang terjadi saat ini tidak akan berlangsung lama karena adanya sebuah kata kunci: pelonggaran kuantitatif. "Proyeksinya, bunga akan dinaikkan, mungkin 2-3 kali. Kalau dinaikkan, itu lebih karena inflasi yang sifatnya disrupsi pasok, bukan karena meningkatnya daya beli. Jadi saya lebih berpikir, inflasi ini hanya berlangsung sementara, paling banter hanya satu tahun," papar lulusan Harvard University tersebut.Selanjutnya, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang akan melakukan relaksasi besar-besaran atas nama pelonggaran kuantitatif. "Itu (pelonggaran kuantitatif) intinya cetak duit lebih banyak. Jadi, semestinya bunga akan turun lagi, sehingga pasar modal akan jauh lebih semarak lagi," papar Gita Wirjawan.
Peran besar artificial intelligence
Jika pelonggaran kuantitatif benar-benar terjadi, kata Gita, hal ini bakal memicu penurunan suku bunga, yang berimbas pada lahirnya peluang investasi dari sektor lainnya, terutama yang dimotori oleh artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan."Suku bunga turun, investasi di fixed income tidak semenarik seperti sebelumnya. Justru kita melihat investasi di pasar modal, saham, bukan hanya ditopang karena penurunan suku bunga, tapi peningkatan produktivitas. Apalagi, dengan adanya pemberdayaan artificial intelligence (kecerdasan buatan/AI)," ujar pria yang kini dikenal lewat podcast Endgame-nya itu.
"Biaya AI itu selalu menurun 50-60 persen per tahunnya. Jadi kalau biaya AI terus menurun, tentunya pemberdayaan AI akan semakin meningkat sehingga lebih produktif. Jika saat itu tiba, equity story akan lebih seksi ketimbang sektor fixed income story. Selanjutnya, tinggal kita padukan dengan alternatif aset yang baru, misalnya kripto atau NFT," sambung Gita.
Kripto semakin seksi
Oleh karena itu, Gita menyarankan agar para pebisnis baru untuk selalu menilai sebuah investasi dalam jangka yang panjang dan jangan terlalu cepat menyimpulkan sebuah situasi."Jadinya, saya melihat peluang berinvestasi di saham itu, jangka panjang, luar biasa bagus. Tapi bukan berarti peluang investasi di kelas aset lainnya harus diabaikan. Kita ambil contoh kripto misalnya. Saya justru sangat bullish mengenai kripto, investasi di kripto itu bagus prospeknya untuk jangka panjang," papar pria 56 tahun tersebut.
Seandainya seorang pebisnis berpikir jangka panjang, maka mereka akan mengetahui manajer portfolio memerlukan kelas aset yang tidak berkorelasi dengan apapun yang harus mereka investasikan, termasuk saham, real estat, dan lain-lain.
"Semakin tidak berkorelasi kripto, maka semakin diinginkan karena mengurangi risiko. Risiko di kripto itu kurang dari satu persen. Dalam batas logika, enggak ada alasan kalau bitcoin akan menembus harga di atas USD100 ribu," tutup Gita.
(AHL)