"Pelemahan ini cenderung disebabkan oleh meningkatnya permintaan dolar Amerika Serikat sejalan dengan jadwal pembayaran dividen dari beberapa perusahaan multinasional di dalam negeri," kata Josua kepada Medcom.id, Jumat, 3 Juli 2020.
Josua menjelaskan sentimen gelombang kedua virus korona (covid-19) juga turut membayangi dan membatasi penguatan rupiah. Selain itu, proyeksi IMF terkait pertumbuhan ekonomi global dan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 yang dipangkas semakin menahan penguatan rupiah.
"Dalam jangka pendek permintaan dolar Amerika Serikat di dalam negeri cenderung relatif meningkat," sebutnya.
Namun demikian, kebijakan stimulus ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan penurunan suku bunga Bank Indonesia berpotensi mendorong pemulihan ekonomi Indonesia dalam jangka pendek. Termasuk pergerakan positif mata uang Garuda tersebut.
"Nilai tukar rupiah diperkirakan akan cenderung stabil sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi nasional," tambah dia.
Disisi lain, terdapat sentimen positif bahwa investor asing masih cenderung membukukan net foreign inflow terutama dari pasar obligasi. Tercatat, investor asing pada periode 18 Juni hingga 29 Juni di pasar obligasi membukukan net foreign inflow sebesar USD451,15 juta.
Sementara dari sisi pasar saham, investor asing membukukan net outflow sebesar USD309,09 juta, dan secara total investor asing masih membukukan net foreign inflow sebesar USD141,26 juta dari pasar saham dan obligasi.
"Di tengah masuknya dana asing di pasar keuangan domestik, pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat diperkirakan didominasi oleh permintaan dolar Amerika Serikat dalam negeri," tukasnya.
(Des)