Tak hanya krisis pangan, saat ini dunia juga dihadapkan oleh meningkatnya harga komoditas energi imbas perang Rusia dan Ukraina. Di sisi lain kenaikan harga pangan dan energi akhirnya mengerek lonjakan inflasi yang memaksa negara melakukan pengetatan kondisi keuangan.
"Sampai sekarang belum ada solusi efektif dalam menangani kondisi krisis pangan di seluruh negara," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, dalam video conference, Jumat, 10 Juni 2022.
Ia menambahkan kenaikan harga pangan dan energi serta pengetatan kondisi keuangan menjadi ancaman serius dalam upaya pemulihan ekonomi global. Pada akhirnya masalah-masalah tadi akan menyebabkan kenaikan angka kemiskinan karena berkurangnya pendapatan saat terjadi kenaikan harga.
"Hal ini dapat menekan keuangan rumah tangga, meningkatkan kemiskinan, mengikis standar hidup, dan ketidakstabilan sosial. Harga yang lebih tinggi kemudian meningkatkan tekanan untuk menaikkan suku bunga, yang meningkatkan biaya pinjaman negara berkembang dan mendevaluasi mata uang mereka, sehingga impor pangan dan energi menjadi lebih mahal," ungkapnya.
Untuk itu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk sebuah grup yaitu Global Crisis Response Group (GCRG) yang terdiri dari enam kepala negara atau pemerintahan sebagai Champions Group. Grup ini bertujuan untuk mengkoordinasikan penanganan krisis akibat dari pandemi covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina.
Hadapi krisis pangan
Menurut laporan GCRG pada 2022, antara 179 dan 181 juta orang diperkirakan menghadapi krisis pangan atau kondisi yang lebih buruk di 41 dari 53 negara. Sebanyak 19 juta lebih banyak orang diperkirakan akan menghadapi penyakit kronis gizi.
Secara global pada 2023, jika pengurangan dalam ekspor makanan dari Rusia dan Ukraina mengakibatkan ketersediaan pangan yang lebih rendah di seluruh dunia. Sementara indeks harga pangan FAO mencapai rekor tertinggi pada Februari 2022 sebelum perang dimulai, dan terus mengalami kenaikan hingga mencapai rekor tertinggi pada Maret 2022.
"Meski ada situasi yang sangat menantang hari ini, beberapa faktor menyarankan situasi ketahanan pangan mungkin menjadi banyak lebih buruk lagi di musim mendatang. Biaya energi yang lebih tinggi, pembatasan perdagangan, dan kerugian pasokan pupuk dari Rusia dan Belarus telah menyebabkan harga pupuk naik bahkan lebih cepat dari harga pangan," tulis laporan tadi.
Secara global pada 2023, jika pengurangan dalam ekspor makanan dari Rusia dan Ukraina mengakibatkan ketersediaan pangan yang lebih rendah di seluruh dunia. Sementara indeks harga pangan FAO mencapai rekor tertinggi pada Februari 2022 sebelum perang dimulai, dan terus mengalami kenaikan hingga mencapai rekor tertinggi pada Maret 2022.
"Meski ada situasi yang sangat menantang hari ini, beberapa faktor menyarankan situasi ketahanan pangan mungkin menjadi banyak lebih buruk lagi di musim mendatang. Biaya energi yang lebih tinggi, pembatasan perdagangan, dan kerugian pasokan pupuk dari Rusia dan Belarus telah menyebabkan harga pupuk naik bahkan lebih cepat dari harga pangan," tulis laporan tadi.
(ABD)