Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan besaran tersebut mengalami peningkatan dibanding pada 2019 yang tercatat sebesar Rp53,2 triliun.
Dirinya mengatakan kenaikan tersebut lantaran pemerintah telah menunda untuk menyesuaikan tarif listrik bagi pelanggan non-subsidi sejak 2017. Sehingga pelanggan nonsubsidi yang seharusnya membayar tagihan listrik sesuai tarif sebenarnya, sampai saat ini juga masih ikut disubsidi.
"Inilah yang kita sebut sebagai biaya kompensasi. Subsidi listrik dan kompensasi semuanya meningkat dari Rp53,2 triliun pada 2017 menjadi sekitar Rp79 triliun pada 2020," kata Fabrio dalam webinar internasional, Kamis, 18 Februari 2021.
Menurut Febrio, kompensasi tersebut menguntungkan bagi sebagian besar pelanggan rumah tangga dengan penghasilan tinggi. Hal ini memang menjadi masalah. Namun, dengan alasan menjaga stabilitas sosial dan daya beli masyarakat membuat pemerintah hingga saat ini masih menahan untuk menyesuaikan tarif bagi golongan tersebut. Ditambah lagi dengan adanya pandemi covid-19 membuat daya beli masyarakat menurun.
Subsidi listrik relatif tepat sasaran karena kelompok rumah tangga miskin dan rentan mendapatkan lebih banyak manfaat. Namun kompensasi menguntungkan sebagian besar rumah tangga berpenghasilan tinggi, jadi itu masalah lain.
Dirinya mengatakan sejatinya pemerintah tengah mengupayakan untuk mengubah skema atau pola pemberian subsidi dari yang berbasis barang menjadi subsidi langsung pada rumah tangga. Selama ini subsidi listrik masih diberikan dalam bentuk barang melalui PLN.
"Kami melihat ini sebenarnya lebih progresif artinya lebih tepat sasaran, subsidi listrik untuk rumah tangga yang diperuntukkan hanya untuk 450 VA dan juga 900 VA yang dikategorikan miskin dan rentan, dan jelas hal ini akan berdampak pada penurunan kesalahan inklusi," jelas Febrio.
(SAW)