Sri Mulyani mengatakan konsumsi masyarakat pada kuartal II lalu mengalami kontraksi lebih dari 5,5 persen sehingga membuat ekonomi terkontraksi. Pada saat bersamaan konsumsi pemerintah juga mengalami tekanan sehingga kontraksi 6,9 persen.
"Oleh karena itu, dalam tugas kita di 2020, dengan dilihat angka inflasi lebih lemah atau rendah dari ditargetkan, itu menggambarkan bahwa sisi permintaan perlu harus didorong," kata dia dalam Rakornas Pengendalian Inflasi Tahun 2020 di Jakarta, Kamis, 22 Oktober 2020.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi secara tahun kalender (year to date) sejak Januari hingga September 2020 adalah 0,89 persen. Sedangkan inflasi tahun ke tahun (year on year) adalah 1,42 persen.
Untuk mendorong permintaan, pemerintah melaksanakan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dengan total alokasi anggaran mencapai Rp695,2 triliun, program PEN sudah terealisasi sebesar Rp344,43 triliun atau 49,5 persen untuk mendorong permintaan dan penawaran.
"Pelaksanaan program PEN yang sangat menentukan tidak hanya sisi daya beli masyarakat yang pada akhirnya diterjemahkan dalam bentuk konsumsi. Namun juga dari sisi ekonomi dunia usaha, yaitu dari sisi investasi," jelas dia.
Ia menambahkan, pemerintah memberikan berbagai insentif bagi dunia usaha termasuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam program PEN. Pemberian stimulus ini diharapkan bisa membantu upaya pemulihan ekonomi nasional dari dampak negatif pandemi covid-19.
"Apabila demand mulai meningkat, maka kita juga harus berfokus pada sisi supply-nya. Sehingga pada akhirnya target inflasi akan tetap pada tingkat yang kita inginkan, yaitu yang memberikan insentif pada dunia usaha atau sektor produksi kerana adanya kepastian harga yang stabil, dan bagi sisi sektor permintaan karena mereka anggap daya belinya terjadi," pungkasnya.
(DEV)