"Ini harus ada kolaborasi atau harus ada metode pengembangan atau pengaturan yang bisa mendukung kolaborasi," kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida, dikutip dari Antara, Selasa, 10 November 2020.
Menurut dia saat ini ada 84 Inovasi Keuangan Digital (IKD) yang tercatat di OJK yang dapat dikelompokkan dalam 18 klaster di antaranya aggregator, perencana keuangan, blockchain, hingga credit scoring. Sedangkan peraturan yang ada saat ini, kata dia, khusus terkait pinjam meminjam digital atau P2P lending dan equity crowdfunding.
Namun sebanyak 18 klaster itu belum memiliki aturan khusus tapi mereka tercakup dalam Peraturan OJK No 13 Tahun 2018 tentang IKD. "Akan segera diatur ada empat mengenai aggregator, project financing mungkin mirip equity crowdfunding, financial planner, dan credit scoring," katanya.
Pertimbangan mengatur IKD tersebut, lanjut dia, karena seiring kemajuan teknologi regulator tidak bisa mengabaikan kemunculan keuangan digital sehingga perlu dikelola karena melibatkan konsumen. OJK, lanjut dia, juga menginginkan IKD tersebut memiliki inovasi yang bertanggung jawab dengan memperhatikan keamanan nasabah.
Regulator, kata dia, ingin IKD berkembang tidak mendisrupsi sektor keuangan yang sudah ada termasuk dengan perbankan. Berdasarkan data dari OJK, per September 2020 jumlah fintech di Indonesia mencapai 286 entitas.
"Kalau dilihat dari nature, sifatnya, kelebihannya (fintech) ada, kelebihan lembaga jasa keuangan misalnya perbankan juga ada, mereka sebetulnya berkolaborasi dengan baik akan sangat memungkinkan. Nah, ini mungkin kami akan lihat pengaturannya yang bisa membuat kolaborasi ini terjadi dengan baik," tukasnya.
Dari jumlah itu, 124 perusahaan merupakan perusahaan pinjam meminjam daring (P2P lending) terdaftar dan 33 berizin di OJK, 84 perusahaan inovasi keuangan digital tercatat dan tiga equity crowdfunding berizin.
(ABD)