Dalam kebijakan impor, misalnya, produk industri dalam negeri tidak dapat bersaing dengan barang impor yang harganya jauh lebih murah, sehingga penggunaan bahan baku dan bahan penolong impor lebih menjadi prioritas.
Di sisi lain, Kebijakan perdagangan seperti Free Trade Area (FTA) dilakukan tanpa persiapan yang matang, sehingga ketika perjanjian FTA mulai berlangsung industri di dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor. Kemudahan impor yang seharusnya membantu industri dalam negeri khususnya IKM, malah menjadi bumerang dan mengancam industri dalam negeri.
"Dari dalam negeri, masalah mahalnya ongkos logistik menjadi masalah klasik yang masih menjadi pekerjaan rumah. Tingginya biaya logistik disebabkan karena penerapan infrastruktur logistik belum terintegrasi dan menciptakan biaya ekonomi tinggi," ujar Ina dalam diskusi virtual di Jakarta, Rabu, 20 Januari 2021.
Dalam menjawab tantangan proses pemulihan ekonomi dan tren reindustrialisasi prematur yang tengah dialami, sebut Ina, sebenarnya pemerintah tengah mengeluarkan produk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perdagangan dan Perindustrian yang merupakan turunan dari undang-Undang Cipta Kerja.
"Namun demikian, RPP ini akan mampu mendorong reindustrialisasi bila pasal-pasal yang ada mengatur beberapa persoalan yang dihadapi industri manufaktur nasional, agar daya saing meningkat dan menjaga neraca perdagangan industri agar tetap surplus dan meningkat seperti di tahun 2020," jelas dia.
Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengurangi ketergantungan bahan impor, membantu industri dalam negeri dalam Kemudahan Lokal Tujuan Ekspor (KLTE), kemudahan dan insentif yang dapat mendorong penggunaan bahan baku lokal, jaminan pasar bagi industri dalam negeri baik industri hulu dan industri hilir.
Dalam RPP perindustrian misalnya, pemerintah perlu mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor. Impor hanya dilakukan bila industri di dalam negeri tidak dapat memproduksi, baik sebagai bahan baku atau bahan penolong.
"Belum ada Bab yang membahas jaminan pasar domestik bagi produk dalam negeri sehingga RPP ini tidak bisa mendorong penggunaan bahan baku dalam negeri, hingga memperbaiki kebijakan impor," tutur Ina.
Pada akhirnya, dalam upaya pemulihan ekonomi Indonesia memerlukan kebijakan tidak hanya untuk jangka pendek namun juga jangka panjang. Momentum pandemi dan juga produk RPP seharusnya mendorong lebih besar upaya perbaikan struktural ekonomi Indonesia melalui reindustrialisasi.
"Tanpa kekuatan dari industri manufaktur, pemulihan ekonomi akan sangat terbatas ke depan," pungkasnya.
(DEV)